Kebijakan
Sertifikasi Bimbingan Pranikah, Efektifkah Meminimalisasi Perceraian di
Masyarakat?
Oleh
: Intan Nuraeni
Kehadiran kebijakan
sertifikasi bimbingan pranikah menimbulkan pro kontra dalam masyarakat, ada
yang menganggap bahwa adanya sertifikasi pranikah termasuk mencampuri urusan
privat warga negara dan juga hanya akan menambah rumit birokrasi yang akan
dihadapi oleh calon pasangan. Di sisi lain pandangan Kementrian Agama dan Badan
Kependudukan dan Keluarga berencana Nasional (BKKBN) justru menyambut positif
akan adanya sertifikasi bimbingan pranikah ini, bahkan Kementrian Agama akan
menyiapkan Kantor Urusan Agama (KUA) di seluruh daerah di Indonesia untuk
melakukan bimbingan pranikah bagi calon pasangan. Masalah pro dan kontra yang
terjadi di sini juga ada keterkaitan dengan ranah Pendidikan masyarakat.
Pendidik masyarakat perlu memberikan pengarahan dan penjelasan lebih lanjut
mengenai sertifikasi bimbingan pranikah ini agar tidak terjadi kesalahpahaman
masyarakat dalam menilai dan menanggapi kebijakan sertifikasi bimbingan
pranikah ini.
Mengutip data dari
mahkamah Agung, tingkat perceraian di Indonesia pada tahun 2018 sekitar 419.268
pasangan. Tuntutan perceraian itu 307.778 dari permpuan dan 111.490 dari
laki-laki. Tingginya angka perceraian ini dipengaruhi oleh berbagai faktor,
salah satu faktor yang menyebabkannya adalah ketidaksiapan mental calon
pengantin yang diakibatkan dari kurangnya pengetahuan mereka terkait ilmu
parenting atau ilmu keluarga yang seharusnya telah dikuasai oleh para calon
pengantin agar siap menjalani kehidupan sebagai satu ikatan suami istri dengan
pasangan agar jika suatu hari terdapat satu goncangan yang menerjang mereka,
mereka tidak dengan cepat memutuskan untuk bercerai melainkan memikirkan dulu
solusi yang seharusnya dilakukan. Jika dibiarkan bisa saja angka perceraian
semakin tahun akan semakin meningkat. Permasalahan ini bukan sekedar dibebankan pada calon
pengantin, melainkan kita semua bertanggung jawab akan hal ini, karena sebuah
keluarga yang mana ayah ibunya juga bertanggun jawab. Tokoh masyarakat tidak
hanya tokoh agama namun kita sebagai pendidik masyarakat juga harus sadar
terkait permasalahn ini, memberikan pengertian terkait hak dan kewajiban serta
Kesehatan mental yang perlu dipersiapkan sebelum melakukan pernikahan.
Amirsyah menyatakan ada
berbagai negara yang terlebih dahulu memberlakukan sertifikasi pranikah sebagai
kebijakan wajib di negaranya yakni di Maroko, Malaysia juga di Jerman telah
memberlakukan Pendidikan pranikah dengan sangat intensif. Melihat kebijakan
dari negara lain sudah berjalan dengan baik maka Indonesia pun mengambil
Langkah yang serupa yakni memberlakukan sertifikasi bimbingan pranikah
atau yang nantinya sebagai output dari
selesainya kegiatan bimbingan pranikah ini calon pengantin akan mendapatkan
sertifikat layak kawin.
Sertfikat layak kawin
menjadi salah satu persyaratan yang wajib diurus oleh para calon pengantin,
kebijakan ini telah berjalan sejak 2020 lalu, namun persyaratan layak kawin ini
ditiadakan sementara oleh kementrian Agama seiring pandemic Covid-19 yang
melanda di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Karena kebijakan ini hanya
ditiadakan sementara maka tidak menutup kemungkinan nantinya akan dibelakukan
Kembali, jadi tidak ada salahnya kita mengupas tuntas mengenai seluk beluk soal
sertifikat layak kawin.
Bimbingan pranikah
sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Sebelumnya Kantor Urusan Agama
sudah memiliki program bimbingan namun memang ada sedikit perbedaan, dulu titik
berat yang disosialisasikan adalah pada tujuan dan tanggung jawab suami istri,
dan pelaksanaannya terkesan seperti formalitas saja, sedangkan yang sekarang
materinya lebih komprehensif dan massif. Selama bimbingan berlangsung, mereka
akan dibekali pengetahuan Kesehatan reproduksi, stunting, pengelolaan ekonomi
dan pengelolaan konflik.
Pemerintah memberlakukan sertifikasi pranikah untuk seluruh calon pasangan
suami istri selain menekan angka perceraian adalah untuk menurunkan angka
rumahtangga miskin dalam 5 tahun kedepan berada di bawah 9,4% . dalam pembukaan
sosialisasi SDGs dan sensus penduduk 2020, bahwa salah satu tantangan pemerintah
melakukan kebijakan adala ketidaksesuaian data. Salah satu yang menjadi fokus
utama adalah juga terkait data masyarakat miskin. Muhadjir Effendy menyatakan
bahwa untuk bisa memberantas kemiskinan membutuhkan data yang valid dari
keluarga dan itu juga hanya dapat diwujudkan dari proses awal pembentukan
keluarga yakni pernikahan. Beliau menuturkan kembali bahwa sejauh ini masalah
kemiskinan keluarga berasal dari ketidaksiapan material juga finansial calon
pasangan. Yang menjadi masalah ialah ketidaksiapan finansial ini kerap berujung
pada kurangnya pasangan suami istri memenuhi kualitas gizi keluarga. Kondisi ini
tentu akan membahayakan jika istri sedang hamil, dan menerima asupan gizi
terbatas maka janin dalam kandungan sangat beresiko mengalami stunting, hal
lainnya juga masih ada persoalan kesehatan reproduksi yang diperhatikan sebelum
membangun keluarga.
Muhadjir merinci bahwa proses bimbingan pranikah selama 3 bulan itu bukanlah waktu yang lama,
bimbingan tersebut juga dapat dilakukan secara daring maupun tatap muka. Sangat
fleksible dan menyesuaikan tergantuk kebutukan calon mempelai. Bimbingan ini
juga banyak manfaatnya bagi pihak terkait, salah satu contoh tujuan dari proses
bimbingan pranikah ini adalah juga membantu calon mempelai untuk bisa mencari
sumber penghasilan. Pasangan yang belum memiliki pekerjaan akan diarahkan
mengurus program kartu pra-kerja, atau dapat juga diarahkan dan terhubung dengan
UMKM bagi para calon mempelai yang ingin membuat usaha sendiri.
Tugas pendidik masyarakat terlihat
jelas di sini, bahwa masyarakat sejauh ini masih sangat jauh dari berbagai
edukasi yang seharusnya didapatkan sebelum membangun keluarga, terbukti dengan masih
banyaknya kasus kemiskinan, kekerasan dalam rumah, berbagai penyakit dari bayi
baru lahir dan perceraian masih banyak terjadi. Pemerintah memberlakukan
kebijakan ini semata-mata karena memang kebutuhan masyarakat untuk menekan
berbagai problematika yang ada
Terkait apakah bimbingan pranikah ini menekan angka perceraian atau tidak
itu semua balik lagi ke individu yan menjalankannya, setelah dilakukannya
pembekalan dan bimbingan apakah dilakukan secara nyata pada saat setelah
terjadi pernikahan atau tidak. Maka di sini juga harus ada peran dari pendidik
masyarakat. Setelah lulus dan mendapatkan sertifikat pranikah masyarakat harus kembali
diarahkan, diperingatkan dengan dilakukannya berbagai sosialisasi – sosialisasi
yang bermanfaat bagi masyarakat agar dapat mendapatkan solusi dalam
permasalahannya. Pendidikan masyarakat harus berkolaborasi dengan bidang lain
seperti bimbingan konseling juga tenaga kesehatan agar dapat menciptakan
gabungan yang sempurna untuk menyampaikan berbagai hal yang informatif kepada
masyarakat.
harapan saya dengan diadakannya bimbingan pranikah ini, peran pendidik
masyarakat dapat terlihat dan eksis di mata masyarakat, dapat memberikan
manfaat yang berkelanjutan dan menekan berbagai permasalahan yang ada selama
ini seperti kasus perceraian yang ramai terjadi juga kasus kemiskinan dapat
ditekan meski mungkin akan berjalan perlahan, namun semoga dengan diadakannya
bimbingan juga sertifikasi ini masyarakat menjadi semakin memiliki kesadaran
hingga dapat mendukung perkembangan dan pembangunan Indonesia di masa
mendatang.
Sumber :
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50471992 diakses pada 18 Desember 2021
https://theconversation.com/kebijakan-sertifikasi-layak-nikah-pentingnya-intervensi-kesehatan-dari-hulu-128930 diakses pada 18 Desember 2021
https://kolom.tempo.co/read/1273855/salah-kaprah-sertifikasi-pranikah/full&view=ok diakses pada 18 Desember 2021
https://ekonomi.bisnis.com/read/20191126/9/1174569/sertifikasi-pranikah-bisa-tuntaskan-masalah-rumah-tangga-miskin diakses pada 22 Desember 2021