Selasa, 21 Desember 2021

Kebijakan Sertifikasi Bimbingan Pranikah, Efektifkah Meminimalisasi Perceraian di Masyarakat?

 

Kebijakan Sertifikasi Bimbingan Pranikah, Efektifkah Meminimalisasi Perceraian di Masyarakat?

Oleh : Intan Nuraeni

 

Kehadiran kebijakan sertifikasi bimbingan pranikah menimbulkan pro kontra dalam masyarakat, ada yang menganggap bahwa adanya sertifikasi pranikah termasuk mencampuri urusan privat warga negara dan juga hanya akan menambah rumit birokrasi yang akan dihadapi oleh calon pasangan. Di sisi lain pandangan Kementrian Agama dan Badan Kependudukan dan Keluarga berencana Nasional (BKKBN) justru menyambut positif akan adanya sertifikasi bimbingan pranikah ini, bahkan Kementrian Agama akan menyiapkan Kantor Urusan Agama (KUA) di seluruh daerah di Indonesia untuk melakukan bimbingan pranikah bagi calon pasangan. Masalah pro dan kontra yang terjadi di sini juga ada keterkaitan dengan ranah Pendidikan masyarakat. Pendidik masyarakat perlu memberikan pengarahan dan penjelasan lebih lanjut mengenai sertifikasi bimbingan pranikah ini agar tidak terjadi kesalahpahaman masyarakat dalam menilai dan menanggapi kebijakan sertifikasi bimbingan pranikah ini.

Mengutip data dari mahkamah Agung, tingkat perceraian di Indonesia pada tahun 2018 sekitar 419.268 pasangan. Tuntutan perceraian itu 307.778 dari permpuan dan 111.490 dari laki-laki. Tingginya angka perceraian ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu faktor yang menyebabkannya adalah ketidaksiapan mental calon pengantin yang diakibatkan dari kurangnya pengetahuan mereka terkait ilmu parenting atau ilmu keluarga yang seharusnya telah dikuasai oleh para calon pengantin agar siap menjalani kehidupan sebagai satu ikatan suami istri dengan pasangan agar jika suatu hari terdapat satu goncangan yang menerjang mereka, mereka tidak dengan cepat memutuskan untuk bercerai melainkan memikirkan dulu solusi yang seharusnya dilakukan. Jika dibiarkan bisa saja angka perceraian semakin tahun akan semakin meningkat. Permasalahan  ini bukan sekedar dibebankan pada calon pengantin, melainkan kita semua bertanggung jawab akan hal ini, karena sebuah keluarga yang mana ayah ibunya juga bertanggun jawab. Tokoh masyarakat tidak hanya tokoh agama namun kita sebagai pendidik masyarakat juga harus sadar terkait permasalahn ini, memberikan pengertian terkait hak dan kewajiban serta Kesehatan mental yang perlu dipersiapkan sebelum melakukan pernikahan.

Amirsyah menyatakan ada berbagai negara yang terlebih dahulu memberlakukan sertifikasi pranikah sebagai kebijakan wajib di negaranya yakni di Maroko, Malaysia juga di Jerman telah memberlakukan Pendidikan pranikah dengan sangat intensif. Melihat kebijakan dari negara lain sudah berjalan dengan baik maka Indonesia pun mengambil Langkah yang serupa yakni memberlakukan sertifikasi bimbingan pranikah atau  yang nantinya sebagai output dari selesainya kegiatan bimbingan pranikah ini calon pengantin akan mendapatkan sertifikat layak kawin.

Sertfikat layak kawin menjadi salah satu persyaratan yang wajib diurus oleh para calon pengantin, kebijakan ini telah berjalan sejak 2020 lalu, namun persyaratan layak kawin ini ditiadakan sementara oleh kementrian Agama seiring pandemic Covid-19 yang melanda di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Karena kebijakan ini hanya ditiadakan sementara maka tidak menutup kemungkinan nantinya akan dibelakukan Kembali, jadi tidak ada salahnya kita mengupas tuntas mengenai seluk beluk soal sertifikat layak kawin.

Bimbingan pranikah sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Sebelumnya Kantor Urusan Agama sudah memiliki program bimbingan namun memang ada sedikit perbedaan, dulu titik berat yang disosialisasikan adalah pada tujuan dan tanggung jawab suami istri, dan pelaksanaannya terkesan seperti formalitas saja, sedangkan yang sekarang materinya lebih komprehensif dan massif. Selama bimbingan berlangsung, mereka akan dibekali pengetahuan Kesehatan reproduksi, stunting, pengelolaan ekonomi dan pengelolaan konflik.

Pemerintah memberlakukan sertifikasi pranikah untuk seluruh calon pasangan suami istri selain menekan angka perceraian adalah untuk menurunkan angka rumahtangga miskin dalam 5 tahun kedepan berada di bawah 9,4% . dalam pembukaan sosialisasi SDGs dan sensus penduduk 2020, bahwa salah satu tantangan pemerintah melakukan kebijakan adala ketidaksesuaian data. Salah satu yang menjadi fokus utama adalah juga terkait data masyarakat miskin. Muhadjir Effendy menyatakan bahwa untuk bisa memberantas kemiskinan membutuhkan data yang valid dari keluarga dan itu juga hanya dapat diwujudkan dari proses awal pembentukan keluarga yakni pernikahan. Beliau menuturkan kembali bahwa sejauh ini masalah kemiskinan keluarga berasal dari ketidaksiapan material juga finansial calon pasangan. Yang menjadi masalah ialah ketidaksiapan finansial ini kerap berujung pada kurangnya pasangan suami istri memenuhi kualitas gizi keluarga. Kondisi ini tentu akan membahayakan jika istri sedang hamil, dan menerima asupan gizi terbatas maka janin dalam kandungan sangat beresiko mengalami stunting, hal lainnya juga masih ada persoalan kesehatan reproduksi yang diperhatikan sebelum membangun keluarga.

Muhadjir merinci bahwa proses bimbingan pranikah  selama 3 bulan itu bukanlah waktu yang lama, bimbingan tersebut juga dapat dilakukan secara daring maupun tatap muka. Sangat fleksible dan menyesuaikan tergantuk kebutukan calon mempelai. Bimbingan ini juga banyak manfaatnya bagi pihak terkait, salah satu contoh tujuan dari proses bimbingan pranikah ini adalah juga membantu calon mempelai untuk bisa mencari sumber penghasilan. Pasangan yang belum memiliki pekerjaan akan diarahkan mengurus program kartu pra-kerja, atau dapat juga diarahkan dan terhubung dengan UMKM bagi para calon mempelai yang ingin membuat usaha sendiri.

Tugas  pendidik masyarakat terlihat jelas di sini, bahwa masyarakat sejauh ini masih sangat jauh dari berbagai edukasi yang seharusnya didapatkan sebelum membangun keluarga, terbukti dengan masih banyaknya kasus kemiskinan, kekerasan dalam rumah, berbagai penyakit dari bayi baru lahir dan perceraian masih banyak terjadi. Pemerintah memberlakukan kebijakan ini semata-mata karena memang kebutuhan masyarakat untuk menekan berbagai problematika yang ada

Terkait apakah bimbingan pranikah ini menekan angka perceraian atau tidak itu semua balik lagi ke individu yan menjalankannya, setelah dilakukannya pembekalan dan bimbingan apakah dilakukan secara nyata pada saat setelah terjadi pernikahan atau tidak. Maka di sini juga harus ada peran dari pendidik masyarakat. Setelah lulus dan mendapatkan sertifikat pranikah masyarakat harus kembali diarahkan, diperingatkan dengan dilakukannya berbagai sosialisasi – sosialisasi yang bermanfaat bagi masyarakat agar dapat mendapatkan solusi dalam permasalahannya. Pendidikan masyarakat harus berkolaborasi dengan bidang lain seperti bimbingan konseling juga tenaga kesehatan agar dapat menciptakan gabungan yang sempurna untuk menyampaikan berbagai hal yang informatif kepada masyarakat.

harapan saya dengan diadakannya bimbingan pranikah ini, peran pendidik masyarakat dapat terlihat dan eksis di mata masyarakat, dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan dan menekan berbagai permasalahan yang ada selama ini seperti kasus perceraian yang ramai terjadi juga kasus kemiskinan dapat ditekan meski mungkin akan berjalan perlahan, namun semoga dengan diadakannya bimbingan juga sertifikasi ini masyarakat menjadi semakin memiliki kesadaran hingga dapat mendukung perkembangan dan pembangunan Indonesia di masa mendatang.

 

 

 

Sumber :

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50471992 diakses pada 18 Desember 2021

https://theconversation.com/kebijakan-sertifikasi-layak-nikah-pentingnya-intervensi-kesehatan-dari-hulu-128930 diakses pada 18 Desember 2021

https://kolom.tempo.co/read/1273855/salah-kaprah-sertifikasi-pranikah/full&view=ok diakses pada 18 Desember 2021

https://ekonomi.bisnis.com/read/20191126/9/1174569/sertifikasi-pranikah-bisa-tuntaskan-masalah-rumah-tangga-miskin diakses pada 22 Desember 2021